Analisa Mengenai Film Adaptasi dari Jepang
Di penghujung akhir tahun ini, informasi yang sering saya dapatkan yaitu adanya adaptasi film-film beradasarkan komik maupun film Jepang. Adaptasi ini dilakukan tidak hanya dalam negeri Jepang, tetapi juga dilakukan oleh pihak industri film Barat. Banyak sekali daftar film-film adaptasi yang dilakukan oleh Jepang di tahun 2017 nanti. Contohnya:
Isshukan Friends/One Week Friends
(18 Februari 2017)
|
Tokyo Ghoul
(Musim Panas 2017)
|
Gintama
(Juli 2017)
|
BLEACH
(2018)
|
Sementara untuk film adaptasi Barat, ada 2 film yang mengadaptasi cerita dari karya Jepang. Yaitu
Power Rangers
(24 Maret 2017)
|
Ghost in the Shell
(31 Maret 2017)
|
Jadi, ada apa sebenarnya dengan adaptasi-adaptasi tersebut? Mengapa penulis membahasnya?
Background & Reason
Lalu, apa yang salah dengan adaptasi tersebut?
Baiklah, jadi baru-baru ini secara tidak sengaja saya berdiskusi mengenai adaptasi dengan teman. Dari viewpoint saya, saya cukup pesimis dengan hal yang bernama adaptasi/live action. Hal ini disebabkan karena rata-rata film adaptasi tidak pernah memenuhi standar film saya. Dimana standar bagi saya adaptasi terbaik yaitu dapat menyampaikan pesan yang ingin disampaikan dalam sumber adaptasi. Tidak hanya itu, salah satu hal terpenting berikutnya tentu saja casting pemeran. Dimana pemeran tersebut haruslah menjiwai karakter sehingga dapat sesuai dengan image yang karakter asli yang ada dalam kepala fans. Tapi kedua hal tersebut biasanya tidak dapat diwujudkan oleh pihak studio. Lalu pihak studio atau scriptwriter sering mengubah story line. Saya paham kalau pengubahan story dilakukan agar penonton dapat mendiferensiasikan versi adaptasi dan versi asli. Lalu hal kedua yaitu, saya juga paham kalau ada beberapa adegan dalam karya asli yang tidak dapat diwujudkan di live action karena kendala teknologi serta kendala uang. Tapi justru disitulah kreatifitas scriptwriter dan sutradara diuji, dimana mereka harus dapat meracik adegan baru yang dapat membuat penonton terkesan.
Film yang diadaptasi dari komik berjudul sama. |
Tapi bagi teman saya, menurut dia itu semua relatif. Karena baginya, film adaptasi tidak selamanya jelek. Dia memberikan contoh seperti adaptasi tv seri Super Sentai, yang adaptasi Baratnya lebih dikenal sebagai Power Rangers. Film TV seri tersebut baginya cukup bagus. Bahkan membuat fans Power Rangers mulai mengikuti versi aslinya. Lalu untuk versi adaptasi Jepang, dia memberikan contoh yaitu Death Note. Film tersebut sukses karena akting pemeran yang cukup bagus, story yang ingin disampaikan dalam komik juga tersampaikan dalam versi film, bahkan meskipun memiliki ending yang agak berbeda dari versi asli tapi tetap saja hal tersebut tidak mempengaruhi segi story & akting.
Let's Analyze
Problem
Mengapa ada film adaptasi dibuat?
Tentu saja alasan utama sebuah studio membuat film adaptasi yaitu untuk menghasilkan banyak uang. Dengan memboncengi suatu karya yang memiliki fans banyak, pihak studio pastinya berharap agar fans suatu franchise tersebut pastinya mau mengeluarkan uang yang banyak demi menonton film adaptasi mereka. Tidak hanya dapat menarik fans lama, pihak studio juga menargetkan fans baru atau moviegoers. Justru disitulah letak kelemahan film adaptasi. Disaat tujuan aslinya adalah uang dan dengan studio produksi besar, belum tentu menjamin 100% kalau hasil adaptasi itu akan sukses.
Hal inilah yang menjadi kelemahan terbesar dari film adaptasi di Jepang. Adanya dorongan bahwa banyak orang yang menyukai komik, game, & animasi di Jepang (serta di luar negeri) membuat pihak studio di Jepang berlomba-lomba membuat film adaptasi. Tentu saja, logikanya adalah apabila membuat film adaptasi, tentu saja banyak yang penasaran menonton, saat banyak yang menonton, tentu saja artinya keuntungan pun ada. Lalu apabila sukses, keuntungan yang diraup bisa bertambah dengan adanya Bluray DVD atau barang-barang lain yang berhubungan dengan film adaptasi tersebut. Ujung-ujungnya ya, uang lagi.
Sementara di Barat, kegagalan film adaptasi versi Barat yaitu sulitnya mencomot material yang memiliki konsep budaya Jepang. Beberapa waktu yang lalu, pemilihan Scarlett Johansson sebagai protagonis dari Ghost in the Shell menuai kontroversi. Karena di mata fans, ini merupakan usaha whitewashing (menggantikan karakter dari ras yang berbeda dengan ras berkulit putih/Barat). Tapi pihak studio membela diri dengan mengeluarkan pernyataan bahwa pihak pengarang/mangaka tidak pernah memberikan detail bahwa karakter tersebut merupakan orang Jepang. Bagi saya, kata-kata tersebut dapat menjadi pembelaan diri bagi semua studio yang ingin mengadaptasi film hasil karya Jepang ke Barat. Bukannya saya tidak suka film Barat, melainkan ada beberapa hal yang patut dilestarikan dan dibiarkan. Hal ini juga terjadi pada film Jepang. Ambil contoh yaitu Shingeki no Kyojin/Attack on Titan. Dimana karakter-karakter yang harusnya terdiri dari multi ras, diubah menjadi orang Jepang.
Franchise Power Rangers menurut penulis terbilang sukses dalam mengadaptasi film Jepang dengan bumbu Barat. Bahkan saya tak dapat membandingkan antara Super Sentai dengan Power Rangers. Dengan alasan karena masing-masing sukses membuat film dengan bumbu kultural masing-masing. Tetapi franchise ini juga pernah sekali gagal dalam hal mengadaptasi budaya dari Jepang. Dimana salah satu seri Power Rangers mengadaptasi serial Super Sentai berjudul Samurai Sentai Shinkenger (Samurai Squadron Shinkenger). Tema seri tersebut yaitu mengenai kehidupan samurai modern, tetapi masih menganut paham bushido (samurai/warrior's spirit), kashin (bawahan), kagemusha (pemain bayangan/pengganti), Tidak cuma itu, seri itu juga membahas mengenai budaya Jepang seperti origami, kabuki (seni teater Jepang), & shodo (kaligrafi).
Samurai Sentai Shinkenger
|
Dari gambar diatas, kita dapat membayangkan bahwa seri tersebut benar-benar menggambarkan spirit Jepang. Bahkan di mata orang awan sendiri, istilah samurai & origami merupakan istilah yang paling berkesan apabila sedang berbicara mengenai Jepang. Lalu hal tersebut diadaptasi di Amerika, dengan background story yang sama tanpa memasukkan atau mengubah budaya original sehingga dapat sesuai dengan budaya Amerika. Tentu saja orang-orang bingung. Sejak kapan di Amerika ada budaya samurai, bushido dan shoudo? Tabrakan budaya tersebut yang membuat seri ini gagal total.
Dari gambar diatas, kita dapat membayangkan bahwa seri tersebut benar-benar menggambarkan spirit Jepang. Bahkan di mata orang awan sendiri, istilah samurai & origami merupakan istilah yang paling berkesan apabila sedang berbicara mengenai Jepang. Lalu hal tersebut diadaptasi di Amerika, dengan background story yang sama tanpa memasukkan atau mengubah budaya original sehingga dapat sesuai dengan budaya Amerika. Tentu saja orang-orang bingung. Sejak kapan di Amerika ada budaya samurai, bushido dan shoudo? Tabrakan budaya tersebut yang membuat seri ini gagal total.
Solution
Lalu, melihat fenomena ini bagaimana sikap kita sebagai seorang penonton atau fans?
Semua kembali ke masing-masing. Salah satu alasan mengapa film adaptasi kurang sukses yaitu kurangnya campur tangan pembuat karya asli tersebut. Adanya arahan dari pembuat karya asli dapat membantu script writer maupun produser dalam menghasilkan film adaptasi yang bagus dan menghibur penonton. Dari pembuat karya tersebut juga, pihak studio dapat membuat film dengan kreasi masing-masing tetapi sesuai dengan karya asli.
Adanya masukan/feedback dari fans juga sangatlah penting. Pemikiran bahwa dengan membuat film adaptasi akan menghasilkan uang memang merupakan suatu pemikiran yang masuk akal. Akan tetapi, bukankah akan lebih baik apabila sebuah film adaptasi mendapatkan cap sukses dan bagus dari fans? Karena adanya penilaian tersebut, otomatis pasti film yang dihasilkan juga dapat menjadi keuntungan juga bukan? Sayangnya pemikiran tersebut tidak terbayangkan di pikiran pihak studio maupun pihak sutradara.
Terakhir adalah totalitas seorang aktor/aktris. Salah satu kesuksesan adaptasi komik Barat menjadi film adaptasi yaitu adanya totalitas dari pemainnya. Motivasinya pun bervariasi. Mulai dari pemain yang sejak awal tidak mau main-main akan peran yang didapatkan, ada juga yang cukup menyukai perannya sehingga berusaha mati-matian agar hasil yang ditunjukkan sesuai seperti yang ia bayangkan dan lain-lain. Hal inilah yang masih kurang saya tangkap setiap melihat film adaptasi Jepang. Mungkin di drama-drama, hal ini dapat terlihat dengan jelas. Tetapi apabila kita berbicara mengenai film adaptasi dengan budget besar, belum tentu hal ini dapat terwujudkan. Alasannya pun karena tekanan dari pihak fans yang ingin agar karakter kesukaannya dapat diwujudkan di dunia asli sesuai dengan image yang ada di kepala para fans.
Kesimpulan
Film adaptasi yang bagus itu relatif bagi para pembaca. Karena belum tentu standar saya sama seperti standar yang ada di kepala para pembaca. Tapi satu hal yang cukup saya pahami yaitu, film adaptasi yang sukses adalah film yang sukses dalam menyampaikan pesan yang ingin disampaikan di dalam karya asli tetapi dibumbui dengan totalitas dari para pemain, kreatifitas dari scriptwriter & sutradara, adanya dukungan biaya serta support dari pihak studio, dan juga campur tangan/arahan dari pihak pengarang. Dengan adanya semua hal tersebut, saya percaya film adaptasi tersebut dapat diterima pihak fans, penonton maupun orang-orang yang tidak kenal dengan franchise tersebut.
Tapi, jangan buat live action yang seperti ini please
|
Bagaimana menurutmu? Bagaimanakah film adaptasi yang bagus bagimu? Silahkan dikomentari.
Mantap wkwk
BalasHapus